Posted in

Kasus pembubaran paksa retret di Cidahu Sukabumi – Bagaimana kronologinya? – BBC News Indonesia

## Tragedi Cidahu: Pengrusakan Rumah Singgah dan Ancaman Toleransi Beragama di Jawa Barat

Insiden kekerasan yang terjadi di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat, pada Jumat, 27 Juni 2025, menyoroti kembali isu sensitif intoleransi beragama di Indonesia. Sebuah rumah singgah atau vila yang digunakan sebagai tempat retret bagi sekelompok anak dan remaja Kristen menjadi sasaran amuk massa, mengakibatkan kerusakan yang signifikan dan trauma mendalam bagi para korban. Tujuh warga Desa Tangkil telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan atas tindakan brutal tersebut.

Peristiwa bermula ketika sekelompok anak dan remaja dari sebuah gereja di Tangerang Selatan tengah mengikuti retret di vila milik Maria Veronica Ninna. Retret tersebut, menurut informasi dari Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI), merupakan program reflektif yang dikemas dalam kegiatan permainan dan introspeksi diri, umumnya dilakukan di lokasi yang tenang dan kontemplatif, jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Namun, kegiatan tersebut tiba-tiba dihentikan paksa oleh sekelompok warga sekitar.

Berdasarkan keterangan Kepala Desa Tangkil, Ijang Sehabudin, peristiwa ini dipicu oleh beredarnya video yang menampilkan para peserta retret bernyanyi. Video tersebut memicu interpretasi keliru di tengah masyarakat, menyebabkan anggapan bahwa kegiatan tersebut merupakan ibadah yang tidak memiliki izin. Meskipun Ijang bersama Forkopimcam Cidahu (Forum Komunikasi Pimpinan Kecamatan) telah berupaya melakukan klarifikasi dan berencana memberikan surat imbauan, aksi spontanitas warga tak terbendung.

Sekitar pukul 13.15 WIB, kerusakan pun terjadi. Kaca jendela nyaris seluruh ruangan pecah, pot bunga hancur, dua gazebo di belakang rumah rusak berat, kamar mandi belakang mengalami kerusakan, pintu gerbang dirusak, dan sebuah motor bahkan didorong ke sungai. Kerusakan ini tidak hanya menimbulkan kerugian materiil yang signifikan—ditaksir mencapai Rp50 juta menurut pihak kepolisian—tetapi juga meninggalkan trauma mendalam bagi anak-anak dan remaja peserta retret. Pihak gereja memilih untuk menghormati proses hukum yang sedang berjalan dan enggan memberikan keterangan lebih lanjut.

Namun, Sekretaris Umum DPP GAMKI, Alan Christian Singkali, mengungkapkan keprihatinan atas tindakan pengrusakan dan intimidasi yang terjadi. Ia menuturkan bahwa peristiwa tersebut bukan hanya berupa pengrusakan fasilitas, tetapi juga tindakan penistaan simbol keagamaan dengan menurunkan salib yang ada di rumah tersebut. Hal ini, kata Alan, sangat melukai perasaan umat Kristiani dan merusak nilai toleransi yang selama ini menjadi pondasi bangsa Indonesia.

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, setelah mengunjungi lokasi kejadian, menyatakan kasus ini merupakan peristiwa pidana yang ditangani secara hukum. Sebagai bentuk tanggung jawab sosial, beliau turut menanggung biaya perbaikan kerusakan rumah tersebut dengan memberikan bantuan sebesar Rp100 juta kepada keluarga pemilik rumah. Selain itu, pemerintah daerah juga memberikan pendampingan psikologis bagi para korban trauma.

Ketua Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia), Anis Hidayah, dengan tegas menyatakan bahwa penyerangan tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, khususnya hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Peristiwa ini, menurut Anis, mencederai jaminan konstitusional dan konvensi internasional mengenai hak sipil dan politik. Komnas HAM pun mendorong masyarakat untuk menghindari kekerasan dan menyelesaikan perbedaan melalui dialog yang damai.

Kasus Cidahu ini juga menjadi sorotan bagi Kementerian Agama. Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama, Adib Abdusshomad, menyesalkan kejadian tersebut dan menekankan pentingnya pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006. Adib berharap Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama yang masih menunggu pengesahan presiden dapat memperkuat kerangka hukum dalam menjaga toleransi antarumat beragama.

Namun, peraturan perizinan pendirian rumah ibadah, yang seringkali menjadi pemicu konflik, juga mendapat kritikan. Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, menilai beberapa persyaratan, khususnya terkait dukungan masyarakat, bersifat diskriminatif dan menjadi hambatan bagi pendirian rumah ibadah dari berbagai agama.

Data dari Setara Institute menunjukkan bahwa kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan masih tinggi. Sepanjang 2014-2024 tercatat 1.998 peristiwa dan 3.217 tindakan pelanggaran. Pada 2024 saja, intoleransi masyarakat, diskriminasi negara, dan gangguan tempat ibadah masih menjadi masalah utama. Hasil riset Kementerian Agama tahun 2024 juga menunjukkan bahwa Indeks Kerukunan Antar Umat Beragama (IKUB) di Jawa Barat berada di bawah rata-rata nasional, menunjukkan masih adanya tantangan dalam membangun toleransi beragama di daerah tersebut.

Tragedi Cidahu menjadi pengingat penting akan perlunya peningkatan kesadaran akan pentingnya toleransi, pengembangan pemahaman yang benar tentang perbedaan keyakinan, serta penegakan hukum yang tegas terhadap tindakan intoleransi dan kekerasan beragama. Harapannya, kejadian ini dapat menjadi momentum untuk memperkuat komitmen bersama dalam membangun Indonesia yang inklusif dan menjunjung tinggi hak asasi manusia bagi seluruh warganya.

**Kata Kunci:** Cidahu, Sukabumi, Intoleransi Beragama, Kebebasan Beragama, Pengrusakan Rumah Singgah, Komnas HAM, GAMKI, Toleransi, Kerukunan Umat Beragama, Jawa Barat, Hukum, Hak Asasi Manusia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *